Free Smoke Area Oleh Amalia Suryani Penulis adalah mahasiswa ITS Surabaya Tidak kusangka salah satu benda kesayanganku jadi pemicu masalah antara aku dan Maya. Benda itu bukan motor Tiger unguku, celana belel atau miniatur-miniatur Mercy-ku. Benda itu murah, gampang didapat, dan selama ini tidak pernah absen menemaniku. Benda itu rokok. Aku lupa bagaimana awalnya sampai Maya begitu sensitif tentang ini. Bayangkan! Aku yang biasanya menghabiskan satu pak sehari dipaksanya berhenti. Itu namanya penyiksaan! "Terserah kamu Don. Pokoknya aku nggak betah ngobrol sama orang yang bau rokok. Apalagi dengan santainya merokok di depanku." "Tapi May, kamu dulu nggak pernah komplain soal rokok." "Itu sebelum aku tahu gimana hebatnya benda jelek itu ngerusak tubuh kita." Ah, dia nggak tahu sih nikmatnya mengisap lintingan tembakau itu. "Aku akan sangat senang kalau kamu mau berhenti sedikit demi sedikit." "Susah, May…" "Kamu belum nyoba." "Sudah." "Bohong!" Aduh, ketus sekali dia. Coba kalau aku nggak sayang…"May, aku kan punya hak untuk merokok." Aku berusaha merajuk. Dia tersenyum. "Dan aku punya hak untuk menghirup udara yang bebas asap rokok." Maya menatapku. "Don, di dunia ini ada banyak sekali orang macam kamu. Apa jadinya bumi ini kalau generasinya pada kecanduan rokok? Aku ingin mengubah hal itu. Kamu bantu dong!" Aku mendengus sebal. "Sok idealis." "Don, gimana aku ngajak anak-anak kampus sementara cowokku sendiri perokok berat?" Huh. Tadi sok tegas, sekarang mulai keluar manjanya. "Tauk. Aku ke kantin dulu. Lapar." Kuseret kakiku asal-asalan. Meninggalkannya yang pasti sedang gondok kuadrat. *** Semua berawal saat dia bergabung dalam Solidaritas Perokok Pasif, perkumpulan yang terbentuk setelah seminar tentang rokok dan dampak-dampaknya digelar di kampus beberapa bulan lalu. Sejak itu, hari-hari Maya dipenuhi rapat-rapat penyusunan program pemasyarakatan lingkungan bebas rokok di kampus. Aku yang mengantar dan menjemputnya. Waktu itu dia belum terlalu cerewet. Tapi setelah kudengar mereka akan mengadakan kampanye antirokok, Maya jadi superekstrem. *** "May, kalau kamu benar sayang aku, kamu terima aku apa adanya dong. Yang ada adalah Doni yang suka merokok." Esok malamnya setelah pertengkaran itu, aku coba berbaikan. "Kamu bau rokok!" "Ya ampun May, kamu keterlaluan!" "Don, kalau kamu tetap seperti ini, paru-parumu bisa bolong. Kamu bisa kena kanker, belum lagi…" "Nggak usah dijelasin aku juga udah tahu." "Kalau begitu kamu bego banget. Udah tahu tapi sok gengsi nggak mau berhenti." Ugh, menyebalkan! Kuambil rokokku lalu kunyalakan. Di depannya. Tidak mengacuhkan tulisan besar di dinding teras: Free Smoke Area. Tapi belum sempat menyala, direbutnya rokok itu lalu dibuangnya. Kuambil rokok kedua. Maya merebutnya lagi. Rokok ketiga, lagi-lagi dirampasnya. Rokok keempat, hei, dia membiarkannya. Aku menang! "Kamu pulang aja deh," ucapnya ketus. Tanpa menunggu reaksiku, dia masuk rumah dengan membanting pintu. Rokok tidak jadi kuisap. Aku memandanginya lalu membuangnya bersama-sama tiga rokok sebelumnya. Kurasa aku kalah. *** Maya belum juga menghubungiku. Padahal aku yakin dia akan menyerah dan minta maaf. Aku sendiri berat hati untuk meninggalkan rokokku tersayang. Kampanye sudah mulai berjalan. Poster, karikatur, dan spanduk menghiasi kampus. Sebal aku melihatnya. Tapi mereka berhak melakukan itu. Dan aku berhak merokok. Akhir minggu ini, parade band plus basar dilangsungkan. Bodoh. Mana ada anak band bersih rokok? Dan sekarang justru band yang dipakai sebagai alat kampanye. Aku sengaja singgah di stan Maya. Kulihat ada buku-buku yang 100 % menghina dina rokok. Kucomot satu. Kulihat judulnya. Tentang orang-orang yang kencanduan rokok tapi berhasil keluar dari ketergantungannya. Kulirik Maya. Dia sibuk menjelaskan pada pengunjung hal-hal yang sebetulnya sudah jelas. Dia tidak melihatku atau pura-pura tidak melihatku? "Mulai tertarik nih?" Akhirnya dia menyapa. "Nggak juga. Aku kangen sama yang jaga stan," godaku. "Kamu sial Don. Karena penjaga stan ini ingin memberimu buku itu cuma-cuma." Maya menunjuk buku di tanganku. "Nggak tertarik." Kuletakkan buku itu. "Sudah kubilang, buku itu buat kamu. Terserah mau kamu apain." Ah, senyum menyebalkan itu lagi. Sebelum kepalaku meledak, aku pergi dari sana. "Hai Don!" "Hei, Fer. Ngeband?" "Yoi. Aku gabung band baru. Bandku bintang tamu di sini." "Hebat," pujiku. Nggak heran sih. Fery jago main berbagai alat musik. Terutama gitar. Aku pernah dikalahkannya pada festival band waktu SLTA dulu. "Buku apaan?" "Eh, bukan punyaku." Cepat-cepat kukibaskan buku itu. Kalau Fery melihat judulnya, bisa malu aku. "Wah, buku bagus tuh. Aku berhenti merokok juga dibantu buku itu." Ha? Aku ternganga. Fery yang ngajarin aku merokok dan sampai terakhir ketemu, waktu festival band, levelnya jauh di atasku. Dan sekarang dia bilang sudah berhenti? "Berhenti?" "Sama sekali. Memang butuh waktu dan pengorbanan. Kamu sendiri?" "Masih. Kenapa berhenti Fer?" "Kita tahu jeleknya rokok. Dulu aku sebal waktu disuruh berhenti. Tapi setelah aku ke dokter dan tahu kalau paru-paruku sudah mirip permukaan bulan, aku ngeri. Bahkan dokter bilang aku bisa kehilangan kakiku kalau aku masih bandel. Aku menyerah." Aku terdiam. Dampak-dampak itu aku sudah tahu. Sebenarnya apa yang membuatku enggan berhenti? Gengsi? "Paling susah kalau ngumpul teman-teman. Tapi lambat laun mereka mendukung juga. Aku siap-siap dulu Don. Sebentar lagi giliranku." Aku tersenyum. Kubuka buku dari Maya. Kubaca sedikit dan aku tidak menyangka kalau aku tertarik. Ah, aku kok jadi ingin mencoba berhenti ya? *** Maya kelihatan capek. "Sudah mau pulang?" "Mau nganter?" "Yap." "Kubereskan ini dulu." "Kubantu." Maya tersenyum. Dia masih manis meski terlihat kuyu. "May, bukunya oke. Buku sialan itu berhasil mempengaruhi aku." Kucoba mencairkan suasana. Senyum terulas di wajah Maya. "Jangan diam aja dong." "Aku senang begomu sudah hilang." Cewek ini tangguh benar. "Aku sadar nggak ada alasan terus menjalani kebiasaan buruk ini." "Dari dulu juga begitu." "Yang romantis dikit dong May." "Oke, pacarku sayang. Aku seneeeng banget kamu mau ciba berhenti merokok." "Tapi nggak sekaligus lho." "Iya aku tahu. Kurangi sedikit demi sedikit. Aku bakal jadi pengawas yang galak. Don, anggap ini sebuah kontes." Aku mengernyitkan dahi. "Bisa berhenti berarti menang." "Hadiahnya?" "Tentu saja kamu jadi sehat?" "Itu saja?" tanyaku nakal. "Hatiku, itu grand prize-nya." "Jadi selama ini kamu belum memberi hatimu?" "Belum semuanya." Dia tertawa menang. Tapi aku senang karena akan kumenangkan hatinya. "May, aku sayang kamu." Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin, dan…perang dengan yayang!